Kamis, 07 Juli 2011

RENUNGAN PAGI: "PANTASKAH KUDISEBUT ANAK BAPA?"


Rabu, 6 April, 2011
Yoh 5:17-30


“Cinta dan kesetiaan adalah tali pengikat hubungan Sang Bapa dan anak. Tapi ketika si anak memutus tali itu, pantaskah ia disebut anak?”
...

            Entahkan cuma berkelakar atau memang lahir dari hatinya tapi apa yang aku sangat suka dari alm. Mantan presiden Gus Dur adalah kepolosan dan kejujurannya dalam bertutur kata. Hampir semua kata yang keluar dari mulutnya walaupun kedengaran lucu tapi sarat makna. Konon suatu waktu ada kelompok yang mempertanyakan hakekat kekristenan kepadanya. Dengan santai saja ia menjawab: “Bagiku, agama yang paling dekat dengan Allah adalah Kristen.” Ada yang bertanya; Mengapa Gus? Ya, karena mereka memanggil Allah sebagai Bapa mereka.” Aku yakin pasti telinga setiap orang Kristen bangga mendengarnya.

               Bacaan hari ini bukan saja menjadi sebuah bentuk pertanggung jawaban Yesus atas identitas-Nya sebagai utusan dan Putra Allah, tentang hubungan antara Diri-Nya dengan Allah, Yang mengutus-Nya dan disebutnya sebagai Bapa, tapi juga menyoroti apa yang membuat Diri-Nya layak disebut anak Bapa. Tanda yang paling jelas sekaligus menjadi ikatan antara Bapa dan Anak adalah cinta dan kesetiaan. Cinta kepada Bapa adalah balasan yang setimpal karena cinta yang tanpa batas dari Sang Bapa kepada si anak, maka Anak pun membalas dengan kesetiaan dalam melakukan setiap kehendak Bapa.

               Saudara dan Aku hanyalah ciptaan seperti yang lain. Namun menjadi sesuatu yang membanggakan ketika Yesus datang ke dunia, Ia mengizinkan kita untuk memanggil Yang Ilahi, Bapa-Nya sebagai Bapa kita (dan juga ibu-Nya sebagai ibu kita), karena memang Ia sendiri memperlakukan kita sebagai saudara-saudari kandung-Nya. Kepada mereka yang selalu mengeluh mendapatkan semua yang diminta dari Allah, aku selalu menasehati dengan kata-kata ini; “Seharusnya kita malu pada diri sendiri ketika sebagai anak angkat meminta mendapatkan sesuatu yang lebih dari si anak kandung; Ketika kecemasan dan ketakutan merasuk hati dan perasaan-Nya di taman Getsemani, Ia berteriak kepada Bapa-Nya; “Biarlah piala ini berlalu dari pada-Ku.” Ketika Ia bergantung di palang Salib di Golgota, Ia pun berteriak; “Allah-Ku, ya Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Daku?” Apakah ada suara penghiburan dan kekuatan yang diterima dan didengar seperti ketika pembaptisan-Nya di sungai Yordan atau dalam peristiwa transfigurasi; “Inilah Putra-Ku yang Kukasihi. Kepada-Nya Aku berkenan. Dengarkanlah Dia.” Saudaraku, yang terjadi ketika jeritan kesakitan sang Anak melambung ke hadirat Sang Bapa adalah Bapa diam seribu bahasa memandang bangga pada anak yang sedang menderita. Sang Bapa menitikan air mata seakan menyesal memberi tugas yang berat kepada si anak tapi ketabahan dan kesetiaan sang Anak untuk menuntaskan misinya sungguh menjadi hiburan bagi Sang Bapa. Ya, sang Anak adalah domba yang dibawa ke tempat pembantain dan ia tak mengelu. Ada diam yang panjang tapi gelora cinta di hati Sang Bapa dan Anak tetap menjadi kekuatan untuk bertahan dalam derita dan cobaan. Jika terhadap derita Putra kandung-Nya saja, Bapa diam, apa yang Anda harapkan agar Bapa perbuat lebih kepadamu ketika derita menghimpitmu? Seharusnya kita malu pada diri sendiri. Bersyukur saja karena Ia telah mengizinkan kita untuk memanggil Bapa-Nya sebagai Bapa kita, itu sudah cukup. Biarlah Ia memberikan kepada anak angkat-Nya sesuai dengan kehendak-Nya dan bukan karena tuntutan anak-anak angkat-Nya. Biarlah kita menerima dari remah-remah apa yang diberikan kepada si Anak kandung, dan ini pun rasanya sudah cukup bagi kita dan menjadi alasan untuk berterima kasih dan bersyukur kepada-Nya.

               Oleh karena itu, hari ini aku datang di dalam kesadaranmu yang paling dalam dan hanya mau mengatakan; “Setialah berbuat apa yang dikehendaki oleh kakak sulung kita, yakni melaksanakan kehendak Bapa.” Aku senang merenung yang satu ini; “Jika Anda tidak dapat melakukan kehendak Bapa, mengapa Anda berani memanggil-Nya Bapa?” Ini berarti ketika kita berdosa, maka kita tidak layak menyebut Allah sebagai Bapa kita. Tapi, pagi ini, Allah, Bapamu meneguhkanmu lewat sabda Putra-Nya; “Dalam keadaan apa pun Ia bersedia dipanggil Bapa.” Kesediaan-Nya untuk disapa Bapa hendaknya tidak membuat kita terlena dalam perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki-Nya, melainkan menjadi dorongan bagi saudara dan aku untuk setia berbuat apa yang dikehendaki Sang Bapa; “Cinta akan diri-Nya dan cinta akan sesama seperti Anda cinta akan dirimu sendiri.” Aku selalu punya keyakinan ini dan ingin kuberbagi denganmu sebagai saudaraku; “Allah menciptakan kita agar kita hidup dan menyenangkan Hati-Nya. Ia adalah Allah pencinta dan bukan penghukum. Karena itu, dalam keadaan berdosa pun karena tidak melakukan kehendakNya, Ia pun menawarkan cinta-Nya sebagai tanda keselamatan kita. Betapa rindu Hati-Nya agar engkau dan aku bisa tinggal bersama dengan-Nya dalam satu rumah, di mana ada Bapa, ibu dan anak.Ya, itulah keluarga; keluarga yang harmonis dan damai karena ada cinta, kesetiaan dan kepercayaan satu dengan yang lain. Biarlah hari ini kata dan perbuatan kita membuat Allah memandang kagum dan bangga memiliki putra dan putri seperti saudara dan aku. Ya, sungguh kubangga punya Bapa seperti Allah kita. Kamu pasti bisa, saudaraku!


Salam dan doa seorang sahabat untuk para sahabat,

***Duc in Altum***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar