Kamis, 07 Juli 2011

RENUNGAN PAGI : "JERITAN HATI SEORANG MURID"



Selasa, 1 Maret 2011
Mrk.10:28-31

“Sesungguhnya bukan Aku yang membutuhkanmu,
... tetapi engkaulah yang memerlukan-Ku.
Lalu, apa artinya pengorbanku selama ini?
Jawablah aku, Tuhan!”

Dengan sedikit kesal terbungkus di hati kupandangi Tubuh Diam di ujung kalung salib di hadapanku sambil mengajukan pertanyaan di atas. Sialnya, Ia tetap diam seribu kata. Kuharapkan hembusan angin malam datang untuk menggerakkannya tapi ia pun tak datang untuk menghiburku. Aku memandangnya lagi... lagi..dan lagi...dan menuntut sebuah jawaban dari-Nya atas pertanyaanku; “Apa artinya pengorbanku selama ini untuk nama-Nya, untuk Gereja-Nya, untuk umat-Nya sebagai seorang romo?”

Jeritan hati yang sama telah keluar dari mulut St. Petrus ribuan tahun lalu ketika ia merasakan kekosongan di hatinya; harta tidak mereka dapatkan, rumah tidak mereka miliki, jabatan mereka tidak duduki dalam tatanan masyarakat saat itu. Apa yang mereka dapatkan ketika mengikuti orang ini? Tidak lain, adalah melalang buana dari tempat yang satu ke tempat lain, makanan di dapatkan dari belas kasihan dan kebaikan orang, uang, mereka pun terima dari kerelaan orang untuk memberi, tumpangan tempat untuk beristirahat pun tak ada. Langit menjadi atap dan selimut mereka di kala malam tiba. Hati yang memberontak atas kesia-sian ini membuat Petrus memberanikan diri suata saat untuk bertanya kepada Sang Guru; “Kami telah memberikan segala sesuatu dan mengikuti Engkau?” Aku, lalu, menambahkan ketika memandang salib di hadapanku; Apa yang aku terima sebagai balasan-Mu? Apa? Aku semakin mendesaknya tanpa menyadari bahwa itu hanyalah sebuah salib buatan tangan manusia, yang pasti tidak dapat bersuara di telinga tapi di hatiku, dan aku yakin akan hal ini. Setiap orang pasti mengajukan pertanyaan yang sama ketika ia menghadapi derita karena Nama Yesus. Bila ada demo untuk PSSI maka marilah bergabung bersamaku untuk berdemo sambil bertanya kepada Yesus hari ini; Kami telah meninggalkan segalanya dan mengikuti Engkau dalam Gereja-Mu, apa yang kami terima? Apakah Engkau belum puas melihat kami menderita seperti ini? Jawab kami, Yesus! Aku hanya mau mengingatkanmu tentang apa yang biasanya kita buat dalam hidup, bahwa inilah tulisan di poster hati yang kita bawa setiap saat ketika derita dan masalah mendera sebagai pengikut-Nya.

Sebelum kita mendengarkan tanggapan balik-Nya, kuajak engkau sebagai teman-teman senasib dalam demo di hadapan Yesus hari ini untuk mendengarkan kisah saudara tuaku dalam imamat. Ia berkata kepadaku; Saudara mudaku, engkau bertanya, apa yang kuterima ketika memutuskan untuk mengikuti Yesus selama 30 tahun ini sebagai seorang romo? Inilah jawabanku; Awalnya, sebagai seorang romo muda sepertimu, aku berpikir bahwa Yesuslah yang memerlukan aku untuk menjadi seorang romo. Aku pikir bahwa Dialah yang memerlukan tangan saya untuk menggapai orang miskin. Dia memerlukan mulut saya untuk mewartakan Sabda-Nya. Dia memerlukan hati saya untuk memberi nasehat dan makanan jiwa kepada umat-Nya. Tapi, sekarang semakin bertambah usia imamatku (tetesan air mata mulai jatuh membasahi pipi saudara ku dalam imamat itu), lalu ia melanjutkan, aku menyadari bahkan merasa malu terhadap diri sendiri karena kesombongan dan keangkuhanku sebagai seorang romo, seorang yang dengan bangga memproklamirkan diri sebagai gembala jiwa. Semuanya itu tidak benar, saudara mudaku. Tidak, Yesus tidak memerlukanku. Dia adalah Allah Yang Mahakuasa. Dia tidak memerlukan sesuatu pun dari engkau dan aku sebagai imam-Nya. Aku semakin bingung tapi mencoba untuk menangkap makna kata-kata saudara tuaku dalam imamat ini. Sebenarnya, kitalah yang memerlukan Dia. Mau tahu kenapa saya bertahan dalam imamatku? Itu bukan karena aku hebat, tapi karena Ia mencintaiku dan tetap mengizinkanku sebagai imam-Nya. Ia-lah yang membuatku tetap bertahan dan tidak goyah walaupun badai dan gelombang derita datang menerjang perahu jiwa dan ragaku. Akulah yang memerlukan kata-kata penguatan dari-Nya. Akulah yang memerlukan kekuatan dari-Nya ketika aku merasa lemah dan rapuh. Dalam segalanya, akulah yang memerlukan Tuhan, dan bukan sebaliknya.

Lalu, malam ini engkau datang kepada-Nya dan berkata bahwa engkau telah meninggalkan segalanya dan mengikuti Dia, bekerja untuk misi-Nya dan mau menagih imbalan apa yang pantas untukmu? Inilah kebenaranya saudara mudakku; Tuhanlah yang telah memberikan segalanya untukmu dan untukku, untuk kita, lebih dari apa yang kita harapkan untuk terima. Ia memberikan uang kepadamu lewat umat-Nya. Ia menjaga kita sehingga tidak sakit. Ia memberi kita makanan tanpa berusaha keras seperti orang lain. Ia memberi kita kehormatan di tengah masyarakat dan umat. Mendengar semuanya itu, hatiku semakin merana dalam kesedihan karena telah merontak dan menuntut balas jasa dari Tuhan, bahkan lebih parah lagi karena aku telah mengajakmu untuk terlibat dalam demo kepada Tuhan hari ini. Maafkanlah aku, Tuhan....maafkanlah aku, saudaraku.

Melihatku larut dalam kesedihan, sang kakak tua dalam imamat, mendekatiku, memelukku dan berkata dengan kasih; Saudara mudaku, belum ada yang terlambat untuk menyesali diri. Tuhan sedang menantimu di sana. Ia akan berlari mendapatkanmu, memeluk dan menciummu seperti sang bapa yang pernah berbuat kepada putra bungsunya dalam cerita Injil. Tidak penting engkau datang nomor berapa, kapan dan dimana, karena sesungguhnya Ia ada di mana-mana. Ia tidak memakai jam istirahat. Ia tidak memakai satpam di rumah-Nya. Ia bahkan tidak memakai bel dan pintu di rumah-Nya. Ruang hati-Nya siap siaga setiap saat untukmu. Pergilah kepada-Nya karena Ia sedang menantimu.

Dengan berakhirnya pesan saudara tuaku ini, aku baru sadar bahwa saudara tuaku adalah Dia yang diam di depanku, yang telah berbicara di kedalaman jiwaku saat jari-jariku menekan huruf dan menuliskan renungan ini untuk Anda sekalian. Ia diam dalam bentuk salib buatan tangan manusia, tapi, sungguh Ia menjadi Tuhan yang aktif di kedalaman jiwa kita masing-masing bila saudara dan aku berdiam diri sejenak di hadirat-Nya. Tuhan, maafkanlah aku, dan nantikanlah kedatanganku di hadirat-Mu. Ya, bukan Dia yang memerlukan aku, melainkan akulah yang memerlukan-Nya demi keselamatan jiwaku kelak. Terima kasih, Tuhan. Terima kasih, saudara tuaku dalam imamat.

Salam dan doa seorang sahabat untuk para sahabat,

Rinnong

Tidak ada komentar:

Posting Komentar