Jumat, 15 April, 2011
Yoh 10:31-42
“Kedamaian jiwa hanya dirasakan ketika orang menyediakan waktu
... untuk sejenak berdiam diri dan merenung tentang Dia”
Membaca dan merenungkan bacaan hari ini membuatku teringat akan kata-kata Simeon kepada Maria ketika bayi Yesus dibawa ke kenisah untuk disunat; “Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan PERBANTAHAN – dan sebuah pedang akan menembus jiwamu sendiri -, supaya menjadi nyata pikiran banyak orang.”
Tentunya dengan rasa penghargaan yang tinggi kita menyatakan rasa hormat dan ucapan terima kasih kepada “para pembela iman” yang terus menerus lahir dan hidup di setiap zaman. Saya teringat akan kata-kata seorang pembela iman Gereja Katolik muda di antara kita yang mengatakan bahwa ketika kita membela iman (ajaran Gereja) maka bukan kita yang sebenarnya berbicara tetapi Roh Kudus sendirilah yang dengan bebas membela iman Gereja-Nya. Demikian pun serangan oknum-oknum yang tak bertanggung jawab di mana saja, bahkan di dunia mayafacebook pun dibalas dengan argument-argumen yang luar biasa sehingga para pengeritik pulang dengan damai (bukan mati loh...tapi mundur secara teratur) Dan, apa yang kita baca dalam bacaan pagi ini di mana kehadiran, pengajaran dan perbuatan Yesus selalu menimbulkan perbantahan di tengah para pendengar-Nya, bukan saja mereka menentang Yesus, tapi bahkan di antara mereka sendiri muncul “pro-kontra” terhadap identitas dan penjaran-Nya. Semua fakta itu seakan membenarkan ramalan Simeon bahwa “Anak ini akan menimbulkan perbantahan, bukan cuma dulu tapi sepertinya akan menjadi perbantahan sepanjang masa. Bukankah kita orang-orang Krsiten saling menyerang dan mengklaim diri yang paling benar sebagai murid Yesus, padahal Ia sendiri hanya mendirikan satu Gereja saja di dunia ini, dan itulah Gereja Katolik?
Renungan pagi ini tidak mau mengatakan bahwa semua diskusi bahkan debat tentang kebenaran iman itu tidak penting. Rasanya menjadi sebuah kekeliruan besar bila itu terjadi. Apa yang ingin kukatakan kepadamu yakni; “Akhirnya, kita pun harus menyadari bahwa seharusnya selalu ada waktu di hidup kita untuk diam seperti Maria, menyimpan segala perkara di dalam hati, dan merenungkannya.” Apa pun pembelaan atau serangan kita terhadap lawan dan musuh-musuh Gereja boleh membuat Gereja itu tetap berdiri kokoh teguh, tapi tidak sama sekali menambah atau mengurangi identitas Yesus sebagai Anak Allah, bahkan sebagai Allah sendiri. Banyak orang bertanya dan kita memberi bukti tentang ke-Allah-an Yesus, dan semuanya itu sungguh hebat. Akan tetapi sekali lagi, aku selalu yakin bahwa kedamaian jiwa hanya ditemukan ketika kita mempunya sikap diam seperti Maria dalam mengikuti Putranya. Pertanyaannya; “Apa yang harus kita perbuat untuk mendapatkan kedamaian jiwa seperti Maria?”
Baiklah ini dibaca sebagai sebuah cara untuk menjawab pertanyaan di atas. Harus ada waktu di sisa hidup kita untuk “menghadapi dan menerima segala sesuatu sebagaimana mereka ada, menunggu mungkin lebih indah daripada memaksa/menekan, mengerti lebih bermakna daripada mengutuk, mencintai lebih berharga daripada membenci,” dan beragam contoh lainnya. Intinya, jika kita sampai ke tahap itu di mana iman kita seperti Maria yang melihat, mendengar dan merasa semua derita, cacian, hojatan bahkan sampai menjadi saksi pembunuhan putranya sendiri pun ia hanya diam dan menyerahkannya kepada Allah dengan tetap setia menjalani janjinya; “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataan-Mu.” Inilah iman diam Maria yang pantas kita tiru dan bahkan harus kita miliki. Sungguh, kedamaian jiwa hanya bisa tergapai bukan pada kehebatan kita untuk beragumen dan membuat pembelaan terhadap iman Gereja, melainkan bagaimana kita mampu memberi celah di hidup kita untuk merenung Firman Tuhan dan melaksanakannya di dalama hidup kita.
Akhirnya, sebagai saudaramu, aku hanya berpesan; “Yesus hidup bukan untuk menekan dan memaksa orang lain untuk mengikuti-Nya, melainkan mengajak kita semua pengikut-Nya untuk saling berbagi tentang cinta Allah.” Apakah kehadiran dan hidup kita telah menjadi tanda perdamaian dari Allah kepada sesama? Marilah kita renungkan masing-masing sehingga hidup kita pun menjadi berkat bagi sesama dan menyenangkan Hati Allah.
Salam dan doa seorang sahabat untuk para sahabat,
***Duc in Altum***
Yoh 10:31-42
“Kedamaian jiwa hanya dirasakan ketika orang menyediakan waktu
... untuk sejenak berdiam diri dan merenung tentang Dia”
Membaca dan merenungkan bacaan hari ini membuatku teringat akan kata-kata Simeon kepada Maria ketika bayi Yesus dibawa ke kenisah untuk disunat; “Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan PERBANTAHAN – dan sebuah pedang akan menembus jiwamu sendiri -, supaya menjadi nyata pikiran banyak orang.”
Tentunya dengan rasa penghargaan yang tinggi kita menyatakan rasa hormat dan ucapan terima kasih kepada “para pembela iman” yang terus menerus lahir dan hidup di setiap zaman. Saya teringat akan kata-kata seorang pembela iman Gereja Katolik muda di antara kita yang mengatakan bahwa ketika kita membela iman (ajaran Gereja) maka bukan kita yang sebenarnya berbicara tetapi Roh Kudus sendirilah yang dengan bebas membela iman Gereja-Nya. Demikian pun serangan oknum-oknum yang tak bertanggung jawab di mana saja, bahkan di dunia mayafacebook pun dibalas dengan argument-argumen yang luar biasa sehingga para pengeritik pulang dengan damai (bukan mati loh...tapi mundur secara teratur) Dan, apa yang kita baca dalam bacaan pagi ini di mana kehadiran, pengajaran dan perbuatan Yesus selalu menimbulkan perbantahan di tengah para pendengar-Nya, bukan saja mereka menentang Yesus, tapi bahkan di antara mereka sendiri muncul “pro-kontra” terhadap identitas dan penjaran-Nya. Semua fakta itu seakan membenarkan ramalan Simeon bahwa “Anak ini akan menimbulkan perbantahan, bukan cuma dulu tapi sepertinya akan menjadi perbantahan sepanjang masa. Bukankah kita orang-orang Krsiten saling menyerang dan mengklaim diri yang paling benar sebagai murid Yesus, padahal Ia sendiri hanya mendirikan satu Gereja saja di dunia ini, dan itulah Gereja Katolik?
Renungan pagi ini tidak mau mengatakan bahwa semua diskusi bahkan debat tentang kebenaran iman itu tidak penting. Rasanya menjadi sebuah kekeliruan besar bila itu terjadi. Apa yang ingin kukatakan kepadamu yakni; “Akhirnya, kita pun harus menyadari bahwa seharusnya selalu ada waktu di hidup kita untuk diam seperti Maria, menyimpan segala perkara di dalam hati, dan merenungkannya.” Apa pun pembelaan atau serangan kita terhadap lawan dan musuh-musuh Gereja boleh membuat Gereja itu tetap berdiri kokoh teguh, tapi tidak sama sekali menambah atau mengurangi identitas Yesus sebagai Anak Allah, bahkan sebagai Allah sendiri. Banyak orang bertanya dan kita memberi bukti tentang ke-Allah-an Yesus, dan semuanya itu sungguh hebat. Akan tetapi sekali lagi, aku selalu yakin bahwa kedamaian jiwa hanya ditemukan ketika kita mempunya sikap diam seperti Maria dalam mengikuti Putranya. Pertanyaannya; “Apa yang harus kita perbuat untuk mendapatkan kedamaian jiwa seperti Maria?”
Baiklah ini dibaca sebagai sebuah cara untuk menjawab pertanyaan di atas. Harus ada waktu di sisa hidup kita untuk “menghadapi dan menerima segala sesuatu sebagaimana mereka ada, menunggu mungkin lebih indah daripada memaksa/menekan, mengerti lebih bermakna daripada mengutuk, mencintai lebih berharga daripada membenci,” dan beragam contoh lainnya. Intinya, jika kita sampai ke tahap itu di mana iman kita seperti Maria yang melihat, mendengar dan merasa semua derita, cacian, hojatan bahkan sampai menjadi saksi pembunuhan putranya sendiri pun ia hanya diam dan menyerahkannya kepada Allah dengan tetap setia menjalani janjinya; “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataan-Mu.” Inilah iman diam Maria yang pantas kita tiru dan bahkan harus kita miliki. Sungguh, kedamaian jiwa hanya bisa tergapai bukan pada kehebatan kita untuk beragumen dan membuat pembelaan terhadap iman Gereja, melainkan bagaimana kita mampu memberi celah di hidup kita untuk merenung Firman Tuhan dan melaksanakannya di dalama hidup kita.
Akhirnya, sebagai saudaramu, aku hanya berpesan; “Yesus hidup bukan untuk menekan dan memaksa orang lain untuk mengikuti-Nya, melainkan mengajak kita semua pengikut-Nya untuk saling berbagi tentang cinta Allah.” Apakah kehadiran dan hidup kita telah menjadi tanda perdamaian dari Allah kepada sesama? Marilah kita renungkan masing-masing sehingga hidup kita pun menjadi berkat bagi sesama dan menyenangkan Hati Allah.
Salam dan doa seorang sahabat untuk para sahabat,
***Duc in Altum***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar